Selasa, 09 Maret 2010

Etika dan Profesionalisme dalam Teknologi Sistem Informasi

PENGERTIAN ETIKA

Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.

PENGERTIAN PROFESI

Belum ada kata sepakat mengenai pengertian profesi karena tidak ada standar pekerjaan/tugas yang bagaimanakah yang bisa dikatakan sebagai profesi. Ada yang mengatakan bahwa profesi adalah “jabatan seseorang walau profesi tersebut tidak bersifat komersial”.

Tidak hanya publik atau tempat umum saja kita harus memperhatikan Etika dan Profesionalisme, di dalam Dunia Teknologi Sistem Informasi pun terdapat Etika dan Profesionalime itu sendiri.
Masalah Etika dan Profesionalime telah diidentifikasi oleh Richard Mason pada tahun 1986.
Etika dan Profesionalime yang diidentifikasi oleh Richard Mason mencakup Privasi, akurasi, Properti dan akses.


1.Privasi
Privasi yang dimaksud di sini adalah Privasi dalam hal hak individu dalam mempertahankan informasi pribadi dari pengaksesan oleh orang lain yang tidak berhak.


2.Akurasi

Akurasi merupakan faktor yang paling utama dalam sistem Informasi.Ketidak akurasian sebuah Informasi dapat menimbulkan hal yang mengganggu, merugikan, dan bahkan membahayakan diri sendiri bahkan orang lain.

3.Properti
Perlindungan terhadap hak property yang sedang digalakkan saat ini yaitu dikenal dengan sebutan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Kekayaan Intelektual diatur melalui 3 mekanisme yaitu hak cipta (copyright), paten, dan rahasia perdagangan (trade secret).

- Hak cipta : Hak cipta adalah hak yang dijamin oleh kekuatan hokum yang melarang penduplikasian kekayaan intelektual tanpa seijin pemegangnya. Hak cipta biasa diberikan kepada pencipta buku, artikel, rancangan, ilustrasi, foto, film, musik, perangkat lunak, dan bahkan kepingan semi konduktor. Hak seperti ini mudah didapatkan dan diberikan kepada pemegangnya selama masih hidup penciptanya ditambah 70 tahun.

- Paten : Paten merupakan bentuk perlindungan terhadap kekayaan intelektual yang paling sulit didapat karena hanya akan diberikan pada penemuan-penemuan inovatif dan sangat berguna. Hukum paten memberikan perlindungan selama 20 tahun.

- Rahasia Perdagangan : Hukum rahasia perdagangan melindungi kekayaan intelektual melalui lisensi atau kontrak. Pada lisensi perangkat lunak, seseorang yang menandatangani kontrak menyetujui untuk tidak menyalin perangkat lunak tersebut untuk diserhakan pada orang lain atau dijual.

4. Akses
Fokus dari masalah akses adalah pada penyediaan akses untuk semua kalangan. Teknologi informasi malah tidak menjadi halangan dalam melakukan pengaksesan terhadap informasi bagi kelompok orang tertentu, tetapi justru untuk mendukung pengaksesan untuk semua pihak.

Sumber : http://erin29.ngeblogs.com/2009/11/07/etika-dan-profesionalism/

Senin, 01 Maret 2010

Fasilitas Warnet di Desa/Kelurahan Masih Sangat Rendah

Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, masyarakat informasi Indonesia diproyeksikan terwujud pada periode jangka menengah ketiga, yaitu tahun 2015-2019. Sasaran Pemerintah sudah ditentukan yaitu meningkatkan kemampuan sumber manusia Indonesia untuk mendapatkan, mengolah dan memanfaatkan informasi terkini, sehingga diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing manusia Indonesia. Dengan sasaran seperti itu maka perlu dibangun berbagai fasilitas telekomunikasi sampai pelosok wilayah Indonesia, salah satunya adalah akses internet.
Menurut naskah sambutan Pembukaan Rakornas Kominfo 2009, Depkominfo sepanjang tahun 2005-2009 telah membangun jasa akses internet di 4218 kecamatan lewat program Universal Service Obligation (USO). Begitu juga dengan sambutan Menkominfo M. Nuh saat itu (sekarang Mendiknas) bahwa tahun 2010 program internet masuk desa akan benar-benar terealisasi seluruh Indonesia (Kompas Tekno). Banyak komentar yang menyangsikan keberhasilan program ini karena bagaimanapun kemiskinan adalah salah satu kendala yang besar, jangan-jangan jaringan internet bisa masuk tetapi masyarakat tidak mampu beli komputer, bayar akses internet ataupun fasilitas listrik yang masih “byar-pet”.

Mungkin kita tidak usah melihat masyarakat sebagai penggunanya dahulu, tetapi kita lihat fasilitas umum yang berhubungan dengan internet yaitu Warung Internet (warnet). Warnet bisa merupakan ujung tombak memperkenalkan internet di masyarakat yang kurang mampu membeli perangkat komputer dan internet. Masyarakat bisa datang dan pergi ke Warnet sesuai kebutuhan dan kantong mereka. Jika masyarakat sudah terbiasa dan internet dianggap sebagai suatu kebutuhan maka proses kepemilikan fasilitas internet pribadi/rumahtangga akan berjalan sendiri.

Sampai dengan tahun 2008, beradasarkan data Potensi Desa dari BPS, maka baru 4.1% (sekitar 3144 desa/kel) dari seluruh desa/kelurahan di Indonesia memiliki fasilitas Warnet, meningkat hanya 1% dibanding tahun 2002 atau kira-kira hanya bertambah 750-an desa selama 6 tahun. Sedangkan target Pemerintah sampai 2009 adalah 4218 kecamatan (bukan desa/kel).

Perkembangan jumlah warnet yang sangat signifikan ternyata masih di DKI Jakarta saja, hampir seluruh kelurahan mempunyai fasilitas warnet. Hal ini sangat timpang dibandingkan dengan propinsi lainnya. Tetapi kita bisa maklum dengan kondisi seperti ini, namanya juga pusat pemerintahan dan ekonomi. Sedangkan propinsi lain seperti Kep.Riau, Jawa Barat, DI Yogjakarta, Banten dan Bali; persentase desa/kel yang memiliki warnet sedikit di atas 10% saja. Sedangkan propinsi lain, sungguh memprihatinkan, dibawah 10%.

Ini jelas PR besar bagi Pemerintah baru ini untuk benar-benar meraih sasaran yang sudah ditargetkan semula. Jangan sampai Renstra yang dibangun/disusun dengan biaya mahal ternyata hanya kumpulan cerita nina bobok yang hanya menghiasi mimpi kita tanpa ada wujud nyata. Mari kita sebagai masyarakat luas juga membantu Pemerintah dalam mewujudkannya, tanpa ada kerjasama yang baik antar Pemerintah dan komponen masyarakat sepertinya kita akan terus bermimpi.

Pemanfaatan ICT dalam pembelajaran

Selama ini kebanyakan peralatan ICT seperti halnya komputer yang ada di sekolah masih sekedar dimanfaatkan sebagai alat untuk mengerjakan administrasi guru atau administrasi sekolah lainnya. Kondisi tersebut sangat terasa di Sekolah Dasar yang hanya memiliki 1 atau 2 komputer saja. Begitu salah satu topik hangat yang dibahas dalam Seminar Nasional Pemanfaatan ICT dalam Pembelajaran seri managemen kelas komputer terbatas baru-baru ini yang dihadiri oleh 700 guru yang berada di wilayah Kedu.

Abad 21 ini kita telah berada pada era digital. Maka sudah menjadi hukum alam, bahwa barang siapa yang mengalami era itu mau tidak mau harus mengalaminya. Proses mengalami era digital sebenarnya merupakan hal yang Sangat mudah bagi generasi yang memang dilahirkan di era digital ini. Saat mereka lahir dengan segala fasilitas yang ada dan mengalir saja sesuai arus yang ada, mereka akan bisa menjadi generasi digital. Mereka ini yang Semarang disebut generasi Native digital.

Namur demikian bagi para guru yang dilahirkan pada era tahun 1970-an sebenarnya tidak dilahirkan dalam era digital. Generasi ini perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap situasi dan kondisi yang ada. Kalau tidak melakukan upaya menyesuaikan diri, bisa dipastikan mereka akan tergilas oleh perputaran zaman. Mereka inilah yang kemudian disebut urban digital.

Dalam menyongsong era digital ini sudah banyak sekolah yang memperlengkapi fasilitasnya dengan berbagai alat ICT seperti: komputer, foto digital, handycam, dan laian sebagainya. Namun sangat disayangkan keberadaan fasilitas ICT tersebut belum banyak dimanfaatkan untuk mendukung proses pembelajaran di kelas. Dengan kata lain alat-alat ICT yang ada di sekolah belum cukup banyak bisa dirasakan oleh anak didik dalam membantu proses pembelajarannya.

Keterbatasan fasilitas yang ada tersebut dirasakan sulit bagi guru untuk memanfaatkannya dalam proses pembelajaran. Apalagi jika pembelajaran yang dilakukan menuntut agar siswa bisa aktif. Banyak anggapan bahwa pembelajaran dengan ICT yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan fasilitas 1: 1. Artinya jika ada 40 siswa, maka pembelajaran menjadi efektif jika disediakan pula 40 komputer atau 40 alat-alat ICT lainnya. Pandangan tersebut tidak seluruhnya benar. Berdasarkan penelitian belajar ICT yang paling efektif justru digunakan secara berkelompok antara 2-3 anak untuk 1 komputer. Bagaimana teknik pengelolaan kelas agar teknologi yang terbatas tersebut dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran yang tetap mengaktifkan siswa?

Model-model pengelolaan kelas teknologi terbatas.

Pedoman ini memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang sering diajukan para guru. Pedoman ini memperkenalkan 4 model manajemen untuk menyelenggarakan kelas komputer yang terbatas (sebuah kelas yang hanya memiliki 1 sampai 4 komputer untuk 40 siswa). Model-model ini meliputi:

Sunarto dalam seminar nasional pemanfaatan ICT dalam PAKEM

Sunarto dalam seminar nasional pemanfaatan ICT dalam PAKEM

Bagaimana guru dapat menggunakan 1 atau 2 unit computer saja untuk 40 siswa? Bagaimana guru dapat membantu siswa mereka untuk belajar? Bagaimana menggunakan ICT tanpa harus mengorbankan seluruh waktu belajar untuk pelajaran computer semata? Masalah manajemen atau pengelolaan semacam ini sering menjadi masalah terpenting yang dihadapi para guru pada saat ingin memulai ICT. Padahal, di negara-negara lain di dunia, para guru telah berhasil menggunakan 1 atau 2 unit computer untuk sekelompok besar siswa — dan dapat dikatakan telah berhasil dengan baik.

1. Model Pusat/Stasiun Pembelajaran (The Learning Centers/Stations Model)

2. Model Navigator (The Navigator Model)

3. Model Kelompok Kolaboratif (The Collaborative Groups Model)

4. Model Para Ahli (The Expert Model)

Pengembangan ICT

Dalam kehidupan kita sering dihadapkan pada dua ujung dikotomi yang dipertentangkan. Misalnya, manakah yang lebih dahulu? Ayam atau telur. Teori atau praktik. Konsep atau implementasinya. Rencana atau pelaksanaannya. Juga dikotomi antara anggaran dan programnya. Anggaran dahulu, baru disusun programnya. Tidak!! Program yang matang dahulu, baru harus disiapkan anggarannya.

Dikotomi ini juga berlaku ketika pemerintah telah memiliki duit yang besar untuk membeli komputer secara besar-besaran. Ada pihak yang kemudian menjadi sangat khawatir kalau komputer yang dibeli nanti akan menjadi barang rongsokan di sekolah. Namun ada pihak lain yang berpendapat bahwa kita harus memiliki program atau konsep yang matang dahulu tentang penggunaan information and communication technology (ICT), baru disediakan anggaran yang cukup untuk membeli perangkat keras (hardware) dan lunaknya (software) secara besar-besaran. Tetapi ada juga yang menganggap bahwa anggaran itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Sekolah Bestari di Malaysia

Rupanya Malaysia memilih pendekatan yang hati-hati. Negeri serumpun ini sangat percaya bahwa “who don’t make a plan, make a fail”. Dengan keyakinan itu, Malaysia telah menyiapkan konsep yang sangat matang dan komplit tentang apa yang disebut sebagai “Smart School” atau dikenal dengan sebutan “Sekolah Bestari”. Secaa konsisten Malaysia juga menyiapkan dana yang memadai untuk pelaksanaan konsep yang amat strategis ini. Bahkan, konsep ini merupakan bagian dari konsep yang lebih besar dari pemerintah Malaysia yang dikenal dengan “Multimedia Super Corridor” (MSC) sebagai megaproject yang amat terkenal di negeri jiran ini. Sekolah Bestari telah dirancang secara matang dengan mempersiapkan sekitar 90 sekolah menengah yang akan diberikan fasilitas ICT secara penuh pada tahun pertama, melatih semua guru dan tenaga administrasi yang akan ditempatkan di sekolah tersebut, menyusun buku pelajaran berbasis ICT untuk empat mata pelajaran teras, yakni (1) Matematika, (2) Sains, (1) Bahasa Inggris, dan (2) Bahasa Malaysia. Keempat mata pelajaran ini telah disiapkan compact disk – read only memory atau CD ROM-nya secara lengkap dan siap pakai. Bahkan, pola pikir ICT ini juga menjadi perhatian dalam rancangan besar-besaran program melek komputer ini oleh pemerintah Malaysia. Dalam konsep skenario rancangan Sekolah Bestari tersebut telah digambarkan kinerja seorang guru (Suparlan: 2006: 104) sebagai ilustrasi sebagai berikut:

Namaku Johan, dan aku mengajar di satu Sekolah Bestari. Pada hari ini, sebagaimana biasa, aku telah menggunakan kartu pintarku untuk mencatat kehadiranku ketika aku masuk sekolah. Ketika bel berbunyi, aku mengecek kehadiran para siswaku dari komputer yang ada di Ruang Guru. Semua siswaku hadir, jadi aku tidak perlu menelepon atau e-mailorangtua untuk menanyakan tentang anak-anaknya.

Pada pagi hari itu, aku pergi ke Ruang Sumber untuk Guru untuk melihat perkembangan tugas-tugas para siswa minggu ini. Siswaku telah membuat saran-saran untuk tugas dan pekerjaan yang harus mereka kerjakan pada minggu berikutnya. Aku telah memberikan persetujuan terhadap sebagian terbesar tugas-tugas itu, dan aku tambahkan beberapa saran untuk beberapa bagian. Seorang rekan guru menyatakan kepada aku bahwa beberapa siswa saya mungkin menghabiskan terlalu banyak waktu untuk proyek sains mereka, dan tidak cukup waktu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang lainnya. Aku telah mengatakan kepada siswa laki-laki untuk peduli terhadap tugas-tugas itu, dan mereka berjanji akan menghabiskan waktu tambahan untuk menyelesaikan tugas-tugas lainnya ketika mereka harus menyelesaikan proyek sains mereka.

Dalam ilustrasi tersebut dikenal beberapa terminologi yang tidak biasa digunakan dalam model penyelenggaraan lama, seperti kartu pintar, e-mail, dan proyek sains. Beberapa terminilogi itu belum dikenal sebelumnya. Yang dikenal paling-paling adalah penjaga sekolah, buku penghubung, dan pekerjaan rumah. Dalam pembelajaran berbasis teknologi informasi, dapat dipastikan bahwa semua pendidik, peserta didik, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan lainnya harus melek komputer, minimal pengenalan awal tentang komputer. Untuk merancang program Sekolah Bestari, Malaysia telah membentuk satu task force atau satuan tugas untuk merancang konsep, menyiapkan rencana jangka panjang tentang langkah-langkah pelaksanaan konsep tersebut, tetap menyediakan anggarannya meski ketika itu Malaysia juga dilanda krisis moneter. Hasilnya, sekolah uji coba telah berkembang cukup pesat, dan sekolah-sekolah lainnya juga melaksanakannya. Bahkan kini Malaysia mulai memberlakukan konsep satu pelajar satu laptop.

Kecakapan ICT (Information and Communication Technology Skills)

Menginjak abad milenium ketiga ini, banyak kita yang merasa terperangah menghadapi perkembangan ICT yang demikian pesat. Betapa tidak! Setiap orang, siapa pun dia, kini telah menggenggam telepon seluler yang kemampuannya cukup membuat kita tekagum-kagum. Sampai-sampai kantor pos kita merasa kehilangan bisnis inti(core bussiness) yang sebelumnya sempat menjadi andalah. Kita juga terperangah ketika alat yang besarnya benar-benar hanya segenggam tangan itu dapat mengirimkan SMS dengan begitu cepat, dapat merekam video yang bahkan dapat dihubungkan melalui komputer, memiliki sistem alarm, ada penunjuk waktu (jam), dan banyak aplikasi lain yang sebelumnya tidak kita bayangkan. Demikian juga dengan dunia perkomputeran. Dari komputer hitam putih yang kita miliki pada awal tahun 80 – 90-an, kini telah lahir generasi baru komputer lengkap dengan perangkat multimedia yang sangat canggih. Kemampuan untuk menyimpan data dan informasi, serta kecepatan merekam dan menyampaikan informasi, merupakan satu kelebihan perangkat keras ini yang sebelumnya tidak terbayangkan. Bahkan, kini hard disk pun dapat kita bawa kemana kita pergi. Flash disk atau USB dengan kapasitas bukan hanya megabite, tetapi gegabite. Bahkan kadang lebih besar dari hard disk yang ada di dalam hard disk komputer pribadi (personal computer atau PC) yang ada di kantor kita. Komputer pribadi yang ada di kantor dan rumah kita pun kini telah bergeser menuju laptop yang nyaris hanya memiliki berat di bawah dua kilogram kini banyak ditenteng para dosen, pendidik, bahkan kini juga para mahasiswa dan pelajar. Di Malaysia kini memiliki program satu siswa satu laptop. Program itu sesungguhnya telah dimulai oleh Tukul Arwana dalam acara ”Empat Mata” yang demikian paforit itu. Tukul telah memperoleh harga jual yang tinggi dari kejujuran, kesederhaan, spontanitas, keluguan, dan kecerdasannya. Sampai-sampai para anggota DPR pun tidak ingin kalah dengan pelawak-entertainer itu.

Dalam bukunya bertajuk Effective Teaching, Evidence and Practice, Daniel Muijs dan David Reynolds menjelaskan beberapa hal tentang kecakapan ICT. Bagaimana ICT dapat membantu siswa belajar?

Pertama, presenting information. ICT memiliki kemampuan yang sangat luar biasa untuk menyampaikan informasi. Ensiklopedia yang jumlahnya beberapa jilid pun dapat disimpan di hard disk. Bahkan kini telah lahir google0earth yang dapat menunjukkan kepada kita seluruh kawasan di muka bumi kita ini dari hasil foto udara yang amat mengesankan. Dengan membuka www.google.com, data dan informasi akan dengan mudah kita peroleh. Mau membuat grafik dan tabel? Itu sangatlah mudah. Komputer akan dengan senang hati membantu peserta didik untuk membuatkan grafik dan tabel secara otomatis, dengan hanya memasukkan data sesuai dengan yang kita inginkan.

Kedua, quick and automatic completion of routine tasks. Tugas-tugas rutin kita dapat diselesaikan dengan menggunakan bantuan komputer dengan cepat dan otomatis. Mau membuat grafik, membuat paparan yang beranimasi, dan sebainya, dengan mudah dapat dilakukan dengan bantuan komputer.

Ketiga, assessing and handling information. Dengan komputer yang dihubungkan dengan intenet, kita dapat dengan mudah memperoleh dan mengirimkan informasi dengan mudah dan cepat. Melalui jaringan internet, kita dapat memiliki website yang menjangkau ujung dunia mana pun. Jangan heran, anak-anak kita dapat dengan mudah melakukan cheatingatau ngobrol dengan temannya yang berada entah di belahan dunia mana.

Masih banyak lagi manfaat yang dapat kita ambil dari penggunaan ICT dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, kemampuan dalam bidang teknologi informasi haruslah dikuasai sebaik mungkin oleh generasi muda kita melalui pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

Bagaimana Dengan Indonesia?

Rupanya Indonesia masih kebingunan untuk memilih paradigma mana yang paling pas dalam menyelesaikan masalah. Program dulu baru anggarannya, atau anggarannya dulu baru programnya. Kebingunan ini mungkin karena trauma lama, yakni adanya program yang bagus ternyata tidak didukung oleh adanya anggaran yang tersedia. Atau trauma lama tentang ketersediaan anggaran untuk suatu program ternyata dilatarbelakangi oleh kepentingan dari pihak-pihak nonkependidikan yang memiliki motif-motif untuk mencari keuntungan. Contoh tentang hal ini terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Program pengadaan alat peraga, pengadaan buku pelajaran satu siswa satu buku, bahkan soal sepatu bagi siswa saja kemudian dengan mudahnya disediakan dananya. Tetapi, anggaran yang tersedia itu tenyata tidak dilengkapi dengan konsep dan perencanaan yang matang. Atau konsep yang ada itu dengan mudahnya tidak dilaksanakan secara konsekuen. Ketentuan judul buku pelajaran harus digunakan di sekolah minimal selama lima tahun pelajaran, sebagai contoh, dengan mudahnya dipungkiri oleh sekolah, karena berbagai alasan seperti adanya perubahan kurikulum. Di Malaysia, penggunaan buku pelajaran menggunakan konsep sepuluh tahunan. Buku pelajaran yang digunakan di sekolah Malaysia digunakan selama sepuluh tahun. Buku pelajaran baru dapat diganti atau direvisi setelah melalui mekanisme sepuluh tahunan itu.

Kembali ke upaya membangun masyarakat melek komputer melalui pendidikan, memang memerlukan anggaran yang amat besar. Tetapi, untuk melaksanakan program penggunaan ICT tersebut, apa yang harus dilakukan pemerintah adalah menyusun naskah akedemis atau pun semacam blue book yang akan digunakan sebagai acuan atau pedoman untuk pelaksanaan program tersebut. Katakanlah bahwa anggaran untuk pelaksanaan program ICT tersebut memang sudah disiapkan sepenuhnya oleh pemerintah. Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam naskah akademis itu antara lain adalah sebagai beriktut: (1) sudahkah kita memiliki data yang akurat tentang kondisi dan penggunaan ICT di sekolah-sekolah di Indonesia; (2) kalau sudah, apakah anggaran yang akan disediakan tersebut akan dapat digunakan untuk kegiatan apa saja, pengadaan perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), atau persiapan perangkat otaknya (brainware), misanya untuk pelatihan gurunya; (3) sesuai dengan ketersediaan anggaran tersebut, berapa sekolah, sekolah mana saja yang akan dipersiapkan untuk menjadi uji coba penggunaan ICT, (4) bagaimana desain pembelajaran berbasis komputer yang akan diterapkan; (5) mata pelajaran apa saja yang akan disiapkan dalam bentuk CD ROM; (6) berapa banyak CD ROM buku pelajaran yang harus disiapkan untuk proses pembelajaran berbasis komputer; dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab dalam naskah akademis tersebut.

Langkah pertama yang maha penting untuk dapat melaksanakan program melek komputer ini adalah perlunya data yang akurat tentang kondisi dan masalah penggunaan ICT di sekolah. Bukankah perencanaan tanpa data akurat ibarat mimpi di siang hari? Data di Indonesia sering dikenal dengan data karet. Data itu akan membesar dan mengecil sesuai dengan latar belakang kepentingan bagi menyampaikan data.

Refleksi

Para petinggi dalam bidang pendidikan telah merumuskan kebijakan dalam Renstra Dpediknas bahwa sekolah-sekolah kita harus segera melek komputer. Oleh karena itu tidak boleh tidak sekolah harus segera dapat menggunakan ICT, baik dalam proses belajar mengajar maupun dalam urusan teknis administratifnya. Jika pun karena satu dan lain hal anggaran untuk itu telah dapat disediakan, maka langkah yang segera harus disusun adalah langkah-langkah strategis untuk pemanfaatan perangat itu secara optimal. Misalnya, pelatihan guru dalam pembelajaran menggunakan komputer merupakan langkah awal yang harus dilakukan. Tentu saja, sosialisasi tentang penggunaan ICT ini harus gencar dilakukan. Sebagai contoh, pelatihan tentang penggunaan komputer dalam pembelajaran matematika telah dirintis dan dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Tenaga Kependidikan (P4TK) Matematika, Yogyakarta. Bahkan P4TK ini juga telah mengembangkan beberapa CD pembelajaran matematika. Untuk kemudian pemerintah akan mengadakan dan memberikan komputer kepada sekolah, maka langkah yang harus dilakukan adalam pemetaan penggunaan komputer di sekolah. Sekolah mana saja yang akan dijadikan model, syarat apa yang harus dimilikinya, dan sederet pertanyaan lain harus dapat dijawab dari kegiatan pemetaan tersebut. Melalui langkah-langkah tersebut, penggunaan ICT dalam pembelajaran di sekolah dapat dimulai. Memang bukan dari nol, tetapi harus melalui potensi yang telah dimiliki. Insyaallah.